BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Fenomena
jual beli dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang menjadi kebiasaan
masyarakat. Terutama masyarakat Indonesia yang banyak berprofesi sebagai
pedagang. Jual beli diatur juga dalam syariah islam. Akan tetapi
pengetahuan masyarakat tentang jual beli berdasarkan syariah Islam
masih kurang, oleh karena itu banyak masyarakat yang melakukan jual beli
menyimpang dari syariat Islam.
Jual beli
terdiri dari dua macam, yaitu jual beli tunai dan jual beli secara tangguh.
Jual beli secara tangguh pun terbagi lagi menjadi tiga, yaitu jual beli
murabahah, salam dan istishna’. Jual beli salam dan istishna’ sebenarnya jual
beli yang serupa, hanya saja perbedaannya terletak dari keberadaan barang yang
dijadikan sebagai objek akad dan cara pembayaran yang sedikit berbeda. Jual
beli salam terjadi pada komoditas pertanian, perkebunan dan perternakan,
sedangkan jual beli istishna’ terjadi pada komoditas hasil industri yang
spesifikasinya dapat ditentukan oleh konsumen. Jual beli istishna’ merupakan
teknik jual beli yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti
menjahit di tukang jahit dan lain sebagainya. Mungkin itu adalah jual beli
istishna’ yang sederhana tapi hal teresebut adalah contoh kecil dari jual beli
istishna’.
Akad
istishna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini
dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah
memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan
keuntungan kepada produsen juga memberikan keuntungan kepada konsumen atau
pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak
intermediasi dalam hal ini.
Dalam
perkembangannya, ternyata akad istishna lebih mungkin banyak digunakan di
lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan karena barang yang
dipesan oleh nasabahatau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu
dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang yang sudah
jadi. Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah banyak tersedia
di pasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak
membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang mengimplementasikan istishna’ bisa
menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang
belum tersedia.
Berkenaan
dengan latar belakang diatas, maka penulis bermaksud menjelaskan tentang
istishna dalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan Istishna?
2.
Bagaimana skema/alur transaksi Istishna?
3.
Apa saja rukun dan syarat transaksi
Istishna?
4.
Bagaimana pengawasan syariah
transaksi istishna?
5.
Bagaimana implementasi istishna di
lembaga keuangan syariah?
6.
Bagaimana pengakuan, pengukuran dan
penyajian istishna?
C.
TUJUAN
1.
Mengetahui apa itu Istishna.
2.
Mengetahui skema/alur transaksi
Istishna.
3.
Mengetahui rukun dan syarat
transaksi Istishna.
4.
Mengetahui pengawasan syariah
transaksi istishna.
5.
Mengetahui implementasi istishna di
lembaga keuangan syariah
6.
Mengetahui pengakuan, pengukuran dan
penyajian istishna.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN ISTISHNA
Istishna adalah akad jual beli dimana produsen
ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan. Istishna adalah
akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi
tertentu yang diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen untuk membuatkan
barang pesanan sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan
membeli barang tersebut dari bank dengan harga yang telah disepakati bersama.[1]
Dalam fatwa DSN MUI akad istishna adalah akad jual
beli dalm bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antar pemesan (pembeli, mustashni’)
dan penjual (pembuat, shani’).[2]
Istishna paralel adalah suatu
bentuk akad istishna' antara pemesan (pembeli, mustashni') dengan penjual (pembuat, shani'), kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni',
penjual memerlukan pihak lain sebagai shani'.
B.
RUKUN DAN SYARAT ISTISHNA
1.
Rukun Istishna, meliputi:
a.
Transaktor
Terdiri atas
pembeli dan penjual. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan agar penjual
menyerahhkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah
disepakati. Penjual diperbolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu
yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan
kesepakatan dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
Dalam hal
pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan, hukumnya wajib bagi pembeli untuk
menerima barang istishna dan melaksanakan semua ketentuan dalam kesepakatan
istishna. Akan tetapi, sekiranya pada barang yang dilunasi terdapat cacat atau
barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak
memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad.
b.
Objek Istishna
Rukun objek akad transaksi jual beli istishna
meliputi barang yang diperjualbelikan dan harga barang tersebut.
c.
Ijab dan Kabul
(sighat)
Merupakan pernyataan dari kedua belah pihak yang
berkontrak, dengan cara penawaran dari penjual (bank syariah) dan penerimaan
yang dinyatakan oleh pembeli (nasabah).[3]
2.
Syarat Istishna, yaitu:
a.
Pihak yang berakal, cakap hukum dan
mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.
b.
Ridha atau kerelaan dua belah pihak dan
tidak ingkar janji.
c.
Menyatakan kesanggupan untuk mengadakan
atau membuat barang itu.
d.
Mashnu’ (barang/obyek pesanan) mempunyai
kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu, dan jumlahnya.
e.
Barang tersebut tidak termasuk dalam
kategori yang dilarang syara’ (najis, haram, tidak jelas) atau menimbulkan
kemudharatan (menimbulkan maksiat).
Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang
Jual Beli Istishna sebagaimana tercantum dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional
nomor 06/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 4 April 2000, sebagai berikut :
1.
Ketentuan tentang Pembayaran
a. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang,
atau manfaat.
b. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
c. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
2.
Ketentuan tentang Barang
a. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
b. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
c. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
d. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
e. Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
f. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan
akad.
3.
Ketentuan lain
a. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya
mengikat.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak maka penyelesaiannya dilakukan
melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
4.
Berakhirnya Akad Istishna
Kontrak
Istishna bisa berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
a. Dipenuhinya
kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
b. Persetujuan
bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak.
c. Pembatalan
hukum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya
kontrak atau penyelesaiannya, dan masing masing pihak bisa menuntut
pembatalannya.
C. SKEMA/ALUR TRANSAKSI ISTISHNA
1.
Skema Transaksi Istishna
Keterangan:
(1) Pembeli dan
penjual menyepakati akad Istishna.
(2) Barang diserahkan kepada Pembeli.
(3) Pembayaran dilakukan oleh Pembeli.
2.
Skema Transaksi Istishna Paralel
Keterangan:
(1) Melakukan akad Istishna.
(2) Penjual memesan &
membeli dari Suplier/produsen.
(3) Barang dari produsen
diserahkan kepada penjual.
(4) Barang
diserahkan kepada pembeli.
(5) Pembayaran oleh
pembeli.
Dalam kontrak Istishna, pembuat barang
menerima pesanan pembeli. Pembayaran atas transaksi jual beli dengan akad Istishna
dapat dilaksanakan di muka, dengan cara angsuran, dan atau ditangguhkan sampai
jangka waktu pada masa yang akan datang. Adapun mekanisme pembayaran akad Istishna
dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1.
Pembayaran di muka,
yaitu pembayaran dilakukan secara keseluruhan pada saat akad sebelum aset Istishna
diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli akhir (nasabah).
2.
Pembayaran dilakukan
pada saat penyerahan barang, yaitu pembayaran dilakukan pada saat barang
diterima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran ini dimungkinkan adanya pembayaran
termin sesuai dengan progres pembuatan aset Istishna. Cara pembayaran ini yang
umum dilakukan dalam pembiayaan Istishna bank syariah.
3.
Pembayaran
ditangguhkan, yaitu pembayaran dilakukan setelah aset Istishna diserahkan oleh
bank kepada pembeli akhir.[4]
D.
PENGAWASAN SYARIAH TRANSAKSI ISTISHNA DAN ISTISHNA
PARALEL
Untuk memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik
jual beli istishna dan istishna paralel, DPS biasanya melakukan pengawasan
syariah secara periodik. Berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan Bank
Indonesia, pengawasan tersebut dilakukan untuk:
a.
Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan
oleh syariah Islam.
b.
Meneliti apakah bank membiayai pembuatan barang yang
diperlukan nasabah sesuai pesanan dan kriteria yang disepakati.
c.
Memastikan akad istishna dan akad istishna paralel
dibuat dalam akad yang tepisah.
d.
Memastikan bahwa akad istishna’ yang sudah dikerjakan
sesuai kesepakatan hukumnya mengikat, artinya tidak dapat dibatalkan kecuali
memenuhi kondisi tertentu.
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS
menuntut bank syariah untuk hati-hati dalam melakukan transaksi jual beli
istishna’ paralel dengan para nasabah. Di samping itu, bank juga dituntut untuk
melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS
dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.[5]
E.
IMPLEMENTASI ISTISHNA DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Istishna di lembaga keuangan syariah diartikan dengan
akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan
penjual (pembuat, shani’) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.
Secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna dalam
perbankan syari’ah cenderung dilakukan dalam format istishna paralel. Hal ini
dapat dipahami karena pertama, kegiatan istishna oleh bank syariah merupakan
akibat dari adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua, bank
syariah bukanlah produsen dari barang yang dimaksud.
Pada istishna’ pararel terdapat tiga pihak yang
terlibat, yaitu bank, nasabah, dan pemasok. Pembiayaan dilakukan karena nasabah
tidak dapat melakukan pembayaran atas tagihan pemasok selama masa periode
pembangunan, sehingga memerlukan jasa pembiayaan dari bank. Atas pembiayaan
terhadap pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin dari jual beli barang
yang terjadi. Margin diperoleh dari selisih harga beli bank kepada pemasok
dengan harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan juga, bank mendapatkan
pendapatan selain margin berupa pendapatan administrasi.
F.
PENGAKUAN, PENGUKURAN, DAN PENYAJIAN ISTISHNA
1.
Bank sebagai produsen/penjual
a. Pengakuan
dan Pengukuran biaya istishna adalah sebagai berikut:
1)
Biaya istishna terdiri dari:
a)
Biaya langsung, terutama barang untuk menghasilkan
pesanan.
b)
Biaya tidak langsung, yang berhubungan dengan akad
(termasuk biaya pra-akad) yang dialokasikan secara objektif.
2)
Beban umum dan administrasi, beban penjualan, serta
biaya riset dan pengembangan tidak termasuk dalam biaya istishna.
3)
Biaya pra-akad diakui sebagai biaya ditangguhkan dan
diperhitungkan sebagai biaya istishna bila akad ditandatangani, tetapi jika
akad tidak ditandatangani maka beban tersebut dibebankan pada periode berjalan.
4)
Biaya istishna yang terjadi selama periode laporan
keuangan, diakui sebagai aktiva istishna dalam penyelesaian pada saat
terjadinya.
b. Pengakuan
dan Pengukuran biaya istishna paralel adalah sebagai berikut:
1)
Biaya istishna paralel terdiri dari:
a)
Biaya perolehan barang pesanan sebesar tagihan
subkontraktor kepada bank.
b)
Biaya tidak langsung yang berhubungan dengan akad
(termasuk biaya pra akad) yang dilakukan secara objektif.
c)
Semua biaya akibat subkontraktor tidak dapat memenuhi
kewajibannya, jika ada.
2)
Biaya istishna parallel diakui sebagai aktiva istisna
dalam penyelesaian pada saat diterimanya tagihan dari subkontraktor
sebesar jumlah tagihan.
3)
Tagihan setiap termin dari bank kepada pembeli akhir
diakui sebagai piutang istishna dan sebagai terima istishna (istishna billig)
pada pos pelayanan.
a. Bank
mengakui aktiva istishna dalam penyelesaian sebesar jumlah termin yang ditagih
oleh penjual dan sekaligus mengakui hutang istishna kepada penjual.
b. Apabila
barang pesanan terlambat diserahkan karena kelalain atau kesalahan penjual dan
mengakibatkan kerugian bank, maka kerugian itu dikurangkan dari garansi
penyelesaian proyek yang telah diserahkan penjual. Apabila kerugian melebihi
garansi penyelesaian proyek, maka selisihnya akan diakui sebagai piutang jatuh
tempo kepada subkontraktor.
c. Jika bank
menolak barang pesanan karena tidak sesuai spesifikasi dantidak dapat
memperoleh kembali seluruh jumlah uang yang telah dibayarkan kepada
subkontraktor, maka jumlah yang belum diperoleh kembali diakui sebagai piutang
jatuh tempo kepada subkontraktor.
d. Jika bank
menerima barang pesanan yang tidak sesuai dengan spesifikasi, maka barang
pesanan tersebut diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan
biaya perolehan. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode
berjalan.
e. Dalam
istishna paralel, jika pembeli akhir menolak barang pesanan karena tidak sesuai
dengan spesifikasi yang disepakati, maka barang pesanan diukur dengan nilai
yang lebih rendah antara nilai wajar dan harga pokok istishna. Selisih yang
terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan:
1.
Istishna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan
untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan.
2.
Rukun istishna meliputi: transakstor, objek istishna serta
ijab dan qobul.
3.
Alur transaksi istishna yaitu: Pembeli dan penjual menyepakati akad Istishna, Barang diserahkan kepada Pembeli, Pembayaran dilakukan oleh Pembeli.
4.
Untuk memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik jual beli istishna dan
istishna paralel, DPS biasanya melakukan pengawasan syariah secara periodik.
5. Istishna di
lembaga keuangan syariah diartikan dengan akad pembiayaan untuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’)
dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.
B. SARAN
Dalam makalah ini penulis berharap
agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga bisa menambah
wawasan pembaca. Di sini penulis juga minta maaf kepada pembaca jika ada
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini atau ada persepsi yang
berbeda dari pembaca, kami harap untuk dapat dimaklumi.
DAFTAR
PUSTAKA
Danupranata, Gita. 2013. Manjaemen
Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat.
Ismail.
2011. Perbankan Syariah. Jakarta : Prenada Media Group.
Karim, Adiwarman A. 2010. Bank Islam,
Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Yaya, Rizal.,
Erlangga, Aji., Abdurahim, Ahim. 2014. Akuntansi
Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer Edisi 2. Jakarta: Salemba
Empat.
nadiranasyiffa.blogspot.com/2011/12/akad-istishna.html
lidonarta.blogspot.com/2012/07/makalah-akutansi-istishna.html
[1] Gita
Danupranata, Manjaemen Perbankan Syariah, (Jakarta : Salemba Empat,
2013), hlm. 112.
[2] Adiwarman A
Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2010), hlm. 126.
[3] Rizal Yaya, Aji Erlangga, Ahim
Abdurahim, Akuntansi Perbankan Syariah
Teori dan Praktik Kontemporer Edisi 2, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), hlm.
224-225.
[4] Ismail , Perbankan Syariah,
(Jakarta : Prenada Media Group, 2011), hlm. 147.
[5] Rizal Yaya, Aji Erlangga, Ahim
Abdurahim, Op cit, hlm. 226.
0 komentar:
Posting Komentar