BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Tata
pergaulan masyarakat khusunya masyarakat modern seperti sekarang ini,
membutuhkan suatu institusi atau lembaga yang bersedia mengambil alih
resiko-resiko kelompok. Suatu lembaga atau institusi pada hakikiatnya berada
dan ada ditengah-tengah masyarakat. Berbagai jenis lembaga ada dan dikenal
dalam masyarakat masing-masing mempunyai tugas sendiri, sesuai dengan maksud
tujuan dari setiap lembaga yang bersangkutan. Lembaga
merupakan salah satu organ masyarakat, oleh karena itu setiap lembaga tidak
mungkin berdiri sendiri, dan sebagai organ masyarakat, maka lembaga itu ada dan
berada di masyarakat. Lembaga yang merupakan organ masyarakat, keberadaannya
haruslah dalam suatu kegiatan yang memberikan pengabdian kepada masyarakat,
maka ia dapat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat pula.
Pada hakikiatnya suatu lembaga
selalu melakukan tindakan bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi untuk
memenuhi tugas-tugas social tertentu, yaitu untuk memuaskan kebutuhan khusus
dari masyarakat, kelompok orang atau perorangan.
Perusahaan
merupakan salah satu lembaga yang terdapat dalam masyarakat yang keberadaannya
mempunyai tugas-tugas khusus, yaitu suatu karya ekonomi. Dalam masyarakat
modern seperti saat sekarang ini, perusahaan asuransi mempunyai peranan yang
sangat luas jangkauanya yang menyangkut kepentingan-kepentingan sosial maupun
kepentingan ekonomi. Asuransi yang merupakan suatu lembaga ini ia juga dapat
menjangkau kepentingan-kepentingan masyarakat luas dan kepentingan-kepentingan
individu. Perusahaan asuransi secara terbuka menawarkan suatu proteksi atau
perlindungan dan harapan pada masa yang akan datang, baik kepada kelompok
maupun perorangan. Asuransi sebagai suatu lembaga yang mana lembaga-lembaga
asuransi ini diperlukan pengaturan yang berkaitan tentang lembaga asuransi,
pengawasan tentang lembaga asuransi, kegiatan-kegiatan usaha yang ada pada
asuransi, dan pengizinan asuransi. Maka di dalam makalah ini penulis akan
membahas tentang masalah yang berkaitan dengan aspek hukum dan kelembagaan
asuransi.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
aspek hukum dalam asuransi?
2. Bagaimana
kelembagaan asuransi di Indonesia?
C.
TUJUAN
1. Mengetahui
aspek hukum dalam asuransi.
2. Mengetahui
kelembagaan asuransi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ASPEK HUKUM
DALAM ASURANSI
1.
Pengaturan
Asuransi
a.
KUHPerdata
b.
KUHD (Ps. 246
s/d 308)
c.
UU Nomor 2 Th
1992 tentang Usaha Perasuransian
d.
Keppres RI No.
40 Th ttg Usaha di Bidang Asuransi Kerugian
e.
Keputusan
Menteri Keuangan RI No. 1249/KMK.013/1988
tentang Ketentuan & Tata Cara Pelaksanaaan Usaha di Bidang Asuransi
Kerugian
f.
KMK RI No. 1250/KMK.013/1988 ttg Usaha Asuransi Jiwa.
2. Pengertian
Asuransi
a.
Pasal 246 KUHD:
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang
penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu
premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan,
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya
karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
b.
Pasal 1 UU No. 2
Th 1992: Asuransi (pertanggungan)
adalah perjanjian dua pihak, dengan nama pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, utk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yg
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1]
3. Unsur-unsur
Asuransi Pasal 246 KUHD
a.
Adanya
kepentingan (Psl 250 jo 268 KUHD)
b.
Adanya peristiwa
tak tentu
c.
Adanya kerugian
B.
POKOK-POKOK
KELEMBAGAAN ASURANSI
1.
Perizinan
Lembaga Asuransi
Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian
wajib memperoleh izin usaha dari menteri keuangan, kecuali bagi perusahaan yang
menyelenggarakan program asuransi sosial (pasal 9 ayat 1 undang-undang nomor 2
tahun 1992). Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program
asuransi sosial, fungsi dan tugasnya sebagai penyelenggaraan program tersebut
dituangkan dalam peraturan pemerintah. Ini berarti bahwa pemerintah memang
menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bersangkutan untuk melaksanakan
suatu program asuransi sosial yang telah diputusakan untuk dilaksanakan oleh
pemerintah. Oleh karena itu bagi BUMN yang dimaksud tidak perlu memperoleh izin
usaha dari menteri keuangan.[2]
Untuk
mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 undang- undang
nomor 2 tahun 1992 harus dipenuhi persyaratan mengenai yang terdapat pada ayat
2 yaitu:
a.
Anggaran dasar
b.
Susunan organisasi
c.
Permodalan
d.
Kepemilikan
e.
Keahlian dibidang peransuransian
f.
Kelayakan rencana kerja
g.
Hal-hal yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan
usaha peransuransian secara sehat.[3]
Keahlian dibidang perasuransian yang dimaksud dalam
ketentuan ini mencakup antara lain keahlian dibidang aktuaria, underwriting,
manajemen resiko, penilaian kerugian asuransi, dan sebagainya sesuai dengan
kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan.
Dalam hal ini terdapat kepemilikan hak asing, maka
untuk memperoleh izin usaha wajib dipenuhi persyarat dalam ayat 2 serta
ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing pasal 9 ayat
3 undang-undang nomor 2 tahun 1992.[4]
Dalam pengertian “batas kepemilikan dan kepengurusan
pihak asing” termasuk pula pengertian tentang proses indonesianisasi. Dengan
adanya ketentuan ini diharapkan perasuransian Nasional semakin dapat bertumpu
pada kekuatan sendiri. Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam 2
tahap yaitu:
a.
Pemberian
persetujuan prinsip.
b.
Pemberian izin
usaha.
Akan tetapi, persetujuan prinsip bagi agen asuransi
dan konsultan aktuari tidak diperlukan. Persetujuan prinsip berlaku untuk
jangka waktu 1 tahun. Apabila dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal izin
usaha ditetapkan, perusahaan perasuransian bersangkutan tidak menjalankan
kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian dapat dicabut.[5]
2.
Fungsi dan Tujuan Asuransi
a.
Fungsi
1)
Pengalihan
Resiko; Sebagai sarana atau mekanisme pengalihan kemungkinan resiko/kerugian
(chance of loss) dari tertanggung sebagai ”Original
Risk Bearer” kepada satu atau beberapa penanggung
(a risk transfer mechanism). Sehingga ketidakpastian
(uncertainty) yang berupa kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat suatu
peristiwa tidak terduga, akan berubah menjadi proteksi asuransi yang pasti
(certainty) merubah kerugian menjadi ganti rugi atau santunan klaim dengan
syarat pembayaran premi.
2)
Penghimpun
Dana; Sebagai penghimpun dana dari masyarakat (pemegang polis) yang akan
dibayarkan kepada mereka yang mengalami musibah, dana yang dihimpun tersebut
berupa premi atau biaya berasuransi yang dibayar oleh tertanggung kepada
penanggung, dikelola sedemikian rupa sehingga dana tersebut berkembang, yang
kelak akan dipergunakan untuk membayar kerugian yang mungkin akan diderita
salah seorang tertanggung.
3)
Premi
Seimbang; Untuk mengatur
sedemikian rupa sehingga pembayaran premi yang dilakukan oleh masing – masing
tertanggung adalah seimbang dan wajar dibandingkan dengan resiko yang
dialihkannya kepada penanggung (equitable premium). Dan besar kecilnya premi
yang harus dibayarkan tertanggung dihitung berdasarkan suatu tarip premi (rate
of premium) dikalikan dengan Nilai Pertanggungan.
b.
Tujuan
1)
Memberikan
jaminan perlindungan dari risiko-risiko kerugian yang diderita satu pihak.
2)
Meningkatkan
efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan
pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu
dan biaya.
3)
Pemerataan
biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu
dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang
jumlahnya tidak tentu dan tidak pasti.
4)
Dasar bagi pihak
bank untuk memberikan kredit karena bank memerlukan jaminan
perlindungan atas agunan yang diberikan oleh peminjam uang.
5)
Sebagai
tabungan, karena jumlah yang dibayar kepada pihak asuransi akan dikembalikan
dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini khusus berlaku untuk asuransi jiwa.
3.
Prinsip Dasar Asuransi
Dalam dunia asuransi ada 6 macam prinsip dasar yang
harus dipenuhi, yaitu:
a.
Insurable interest, adalah
hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan antara
tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum. Jadi, Anda
dikatakan memiliki kepentingan atas obyek yang diasuransikan apabila Anda
menderita kerugian keuangan seandainya terjadi musibah yang menimbulkan
kerugian atau kerusakan atas obyek tersebut.
b.
Utmost Good Faith,
adalah
suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang
material mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta maupun tidak.
Artinya si penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan jelas segala
sesuatu tentang luasnya syarat dan kondisi dari asuransi dan si tertanggung
juga harus memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyek atau
kepentingan yang dipertanggungkan.
c.
Proximate Cause, adalah
suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yang
menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang diawali dan secara
aktif oleh sumber yang baru dan independen. Jadi apabila kepentingan yang
diasuransikan mengalami musibah atau kecelakaan, maka pertama-tama dicari
sebab-sebab yang aktif dan efisien yang menggerakkan suatu rangkaian peristiwa
tanpa terputus sehingga pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan tersebut.
Suatu prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan
efisien adalah: "Unbroken Chain of
Events" yaitu suatu rangkaian mata rantai peristiwa yang tidak
terputus.
d.
Indemnity, adalah
suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam
upayanya menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan yang ia miliki sesaat
sebelum terjadinya kerugian (KUHD pasal 252, 253 dan dipertegas dalam pasal
278).
e.
Subrogation, adalah
pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar.
Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang
berbunyi: "Apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya
kepada tertanggung, maka penanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung
dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian
pada tertanggung".
f.
Contribution, adalah hak
penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi
tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan
indemnity. Anda dapat saja mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa
perusahaan asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas obyek yang diasuransikan
maka secara otomatis berlaku prinsip kontribusi.[6]
4.
Kegiatan Usaha
Lembaga Asuransi
Jenis bidang usaha perasuransian
menurut pasal 3 UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian, dibagi atas:
a.
Usaha Asuransi
Yang
mana kegiatan usaha asuransi ini baik asuransi jiwa, kerugian dan reasuransi,[7]
adalah dalam setiap pemasaran program asuransi harus diungkapkan informasi yang
relevan, tidak ada yang bertentangan dengan persyaratan dicantumkan dalam
polis. Pemasaran program asuransi adalah setiap kegiatan yang secara langsung
atau tidak langsung dilakukan untuk menarik calon bertanggung, termasuk
kegiatan promosi, iklan, brosur, dan propektus. Pasal 18 peraturan pemerintah
nomor 73 tahun 1992 menentukan bahwa perusahaan asuransi harus lebih dahulu
melaporkan kepada menteri keuangan setiap program asuransi baru yang
dipasarkan. Perusahaan asuransi dilarang memasarkan program asuransi baru yang
tidak memenuhi ketentuan pasal 19 dan pasal 20 – 23 peraturan pemerintah nomor
73 tahun 1992.
Sedangkan
kegiatan asuransi social hanya dapat diselenggarakan oleh BUMN terhadap
perusahaan yang menyelenggarakan program yang berlaku ketentuan mengenai
pembinaan dan pengawasan dalam undang-undang pasal 14 Nomor 2 tahun 1992.
Perusahaan yang menyelenggarakan salah satu jenis asuransi, yaitu asuransi jiwa
atau asuransi kerugian atau kombinasi antara keduanya.[8]
b.
Usaha penunjang
usaha asuransi, terdiri dari:
1)
Usaha pialang
asuransi yang mana kegiatanya memberikan jasa perantara dalam penutupan kontrak
asuransi dan penanggulangan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak
untuk kepentingan tertanggung.
2)
Usaha penilaian
kerugian asuransi, memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek
asuransi yang dipertanggungkan.
3)
Usaha konsultan
aktuari yang memberikan jasa segala jenis perhitungan matematis yang berkenaan dengan
asuransi.
4)
Usaha agen
memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan
atas nama penanggung.
5. Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Asuransi
Pembinaan
dan Pengawasan Terhadap Usaha Asuransi di Indonesia Pasal 10 Undang-undang Nomor 2
Tahun 1992 menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap usaha
perasuransian dilakukan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya, dalam pasal 11
dinyatakan pula bahwa pembinaan dan pengawasan perusahaan perasuransian tersebut
meliputi:
a.
Kesehatan
keuangan, bagi perusahaan asuransi jiwa, kerugian, dan reasuransi, meliputi:
Batas Tingkat Solvabilitas; Retensi Sendiri; Reasuransi; Investasi;
Cadangan teknis; Lain-lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan.
b.
Penyelenggaraan
usaha, yang meliputi syarat-syarat polis asuransi; tingkat premi; penyelesaian
klaim; persyaratan keahlian di bidang perasuransian; Hal-hal lain yang
berhubungan dengan penyelenggaraan usaha.
Pembinaan dan
pengawasan seperti tersebut di atas termasuk jenis pengawasan
"aktif". Sedangkan pengawasan "pasif" dapat dilakukan
melalui kewajiban-kewajiban perusahaan asuransi, yang terdiri dari:
a.
setiap
perusahaan asuransi wajib menyampaikan neraca perhitungan
laba rugi perusahaan beserta penjelasannya kepada menteri
b.
setiap
perusahaan asuransi wajib menyampaikan laporan operasional kepada menteri
c. setiap
perusahaan asuransi wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan
dalam surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran luas
d. khusus untuk asuransi
jiwa, perusahaan asuransi wajib
menyampaikan laporan investasi kepada menteri.
Dalam
Keputusan Presiden RI Nomor. 40 Tahun 1989 Tentang Usaha di Bidang Asuransi
Kerugian, diatur bahwa yang berwenang mengadakan pembinaan dan pengawasan usaha
asuransi adalah Menteri Keuangan. Pembinaan dan pengawasan tersebut ditujukan untuk semua
perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi,
perusahaan
Broker Asuransi dan Adjuster Asuransi. Terdapat lembaga syariah yang melakukan
pembinaan dan pengawasan perusahaan asuransi syariah di Indonesia, yaitu Dewan
Pengawas Syariah, Dewan Syariah Nasional, dan Badan Arbitrase Syariah Nasional.
6.
Polis dan Premi Asuransi
Dalam
hukum asuransi, dikenal kata polis dan premi.
a.
Polis Asuransi
Suatu
perjanjian asuransi atau pertanggungan bersifat konsensual (adanya kesepakatan),
harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta antara pihak yang mengadakan
perjanjian. Pada akta yang dibuat secara tertulis itu dinamakan “polis”. Jadi,
polis adalah tanda bukti perjanjian pertanggungan yang merupakan bukti
tertulis.[9]
b.
Premi Asuransi
Premi dalam
asuransi atau pertanggungan adalah kewajiban tertanggung, dimana hasil dari
kewajiban tertanggung akan digunakan oleh penangung untuk mengganti kerugian
yang diderita tertanggung.
Premi
biasanya ditentukan dalam suatu presentase dari jumlah pertanggungan, dimana
dalam presentase menggambarkan penilaian penanggung terhadap resiko yang
ditanggungnya, penilaian penanggung berbeda-beda, akan tetapi hal ini
dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran.[10]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan
di atas, maka dapat disimpulkan,
1. Pengertian
otentik tentang asuransi yang saat ini berlaku adalah sebagaimana tercantum
dalam UU Nomor 2 Th 1992
tentang Usaha Perasuransian.
2. Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian
wajib memperoleh izin usaha dari menteri keuangan, kecuali bagi perusahaan yang
menyelenggarakan program asuransi sosial.
3.
Dalam dunia
asuransi ada 6 macam prinsip dasar yang harus dipenuhi, yaitu: Insurable
interest, Utmost Good Faith, Proximate Cause, Indemnity, Subrogation,
dan Contribution.
4. Jenis bidang
usaha perasuransian menurut pasal 3 UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha
perasuransian, dibagi atas usaha asuransi dan usaha
penunjang usaha asuransi.
5. Pembinaan dan Pengawasan Terhadap Usaha Asuransi di Indonesia
Pasal 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 menentukan bahwa pembinaan
dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan oleh Menteri Keuangan.
6. Dalam
hukum asuransi, dikenal kata polis dan premi.
B. SARAN
Dalam makalah ini penulis berharap
agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga bisa menambah
wawasan pembaca. Di sini penulis juga minta maaf kepada pembaca jika ada
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini atau ada persepsi yang
berbeda dari pembaca, kami harap untuk dapat dimaklumi.
Selain itu kami juga mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar kami sebagai penulis bisa
memperbaikinya untuk masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
K. Lubis, Suhrawardi. 2000. Hukum Ekonomi Islam.
Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad, S.H., Prof.
Abdulkadir. 2002. Hukum Asuransi
Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Undang-undang No 2 tahun 1992 tentang usaha
perasuransian.
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang penyelenggaraan usaha perasuransian Pasal 9 dan Pasal 10.
Darmawi, Drs. Herman. 2001. Manajemen Asuransi.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Purba, R adiks. 1995. Memahami
Asuransi di Indonesia. Jakarta : Lembaga Pendidikan dan Pembinaan
Manajemen.
Simanjuntak, Emmy Pangaribuan. 1990. Hukum Pertanggungan. Yogyakarta: Seksi
Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM.
[2] Prof.
Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum
Asuransi Indonesia,( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 26.
[3] Ibid, hlm. 26.
[4] Undang-undang No 2 tahun 1992
tentang usaha perasuransian.
[5] Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha perasuransian Pasal 9 dan Pasal
10.
[7] Drs. Herman Darmawi,
Manajemen Asuransi,( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001), hlm. 27.
[8] Abdulkadir Muhammad, Op cit, hlm 36-38.
[9] R adiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, (Jakarta
: Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, 1995),hlm. 59.
[10] Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, (Yogyakarta : Seksi
Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, 1990), hlm. 41.
0 komentar:
Posting Komentar