BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pada dasarnya orang-orang Arab pada
zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji dan umrah. Ibadah ini mereka warisi dari nenek moyang
terdahulu dengan melakukan perubahan di sana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya
masih tetap ada, seperti thawaf, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja
pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya.
Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap
menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat),
sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul.
Sebenarnya antara umrah dan haji itu
hampir sama, namun ada sedikit hal yang membedakan antara keduanya. Mengapa
demikian? oleh karena itu kami akan menjelaskan bagaimana pengertian dari umrah,
syarat-syarat, dan rukun-rukun yang berkenaan dengan pelaksanaan ibadah umrah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian umrah?
2. Bagaimana
dalil-dalil tentang disyariatkannya umrah?
3. Bagaimana
hukum melaksanakan umrah?
4. Apa saja
syarat-syarat melaksanakan umrah?
5. Apa saja
rukun dalam melaksanakan umrah?
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui pengertian dari umrah.
2. Untuk
mengetahui dalil tentang disyariatkannya umrah.
3. Untuk
mengetahui bagaimana hukum melaksanakan umrah.
4. Untuk
mengetahui apa saja syarat-syarat melaksanakan umrah.
5. Untuk
mengetahui apa saja rukun yang harus dilakukan ketika umrah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN UMRAH
Umrah
secara etimologis adalah ziarah dalam pengertian yang bersifat umum. Sedangkan
secara terminologis adalah berziarah ke Baitullah dalam pengertian khusus.[1]
Umrah
adalah mengunjungi ka’bah dengan serangkaian ibadah khusus di sekitarnya.
Pelaksanaan umrah tidak terikat dengan miqat
zamani dengan arti ia dilakukan kapan saja, termasuk pada musim haji.
Perbedaannya dengan haji ialah bahwa padanya tidak ada wuquf di Arafah,
berhenti di Muzdalifah, melempar jumrah dan menginap di Mina. Dengan begitu ia
merupakan haji dalam bentuknya yang lebih sederhana, sehingga sering umrah itu
disebut dengan haji kecil.[2]
Umrah
dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Umrah yang terpisah dari haji
(mufradah). Waktunya sepanjang tahun, menurut kesepakatan semua ulama mazhab.
Namun waktu yang paling utama menurut Imamiyah adalah bulan Rajab. Sedangkan
menurutt yang lain adalah bulan Ramadhan.
2.
Umrah yang terpadu atau bersama haji
(tamattu’). Orang yang beribadah (haji)
harus melakukan umrah terlebih dahulu, kemudian melakukan amalan-amalan haji
pada satu kali perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh para jamaah haji
yang datang dari berbagai negara yang jauh dari Mekah al-Mukarramah. Waktunya
adalah pada bulan-bulan haji, yaitu Syawal, Zhulqa’dah dan Dzulhijjah, menurut
kesepakatan mazhab. Namun mereka berbeda pendapat tentang bulan Dzulhijjah,
apakah satu bulan penuh termasuk haji, atau sepertiga pertama? Menurut orang
yang mengatakan bahwa umrah itu wajib, gugurlah kewajiban itu bila telah
melakukan umrah yang bersama atau terpadu denagn haji.
Sayyid
Al-Khui membedakan antara umrah mufradah (berpisah
dari haji) dengan umrah tamattu’ (bersama
haji) dengan beberapa hal di bawah ini:
1.
Waktu umrah tamattu’ dimulai dari awal bulan Syawal sampai pada hari kesembilan
bulan Dzulhijjah. Sedangkan waktu umrah mufradah
adalah sepanjang tahun.
2.
Orang yang melakukan umrah tamattu’ hanya diperbolehkan memendekkan
raambutnya saja. Sedengkan orang yang melakukan umrah mufradah boleh memilih antara memendekkan atau mencukur rambutnya.
3.
Umrah tamattu’ dan haji terjadi dalam satu tahun, tetapi kalau umrah mufradah tidak.
Dalam
buku Al-Din wa Al-Haj ‘ala al-Madzahib
Al-Arba’ah karya Al-kararah dijelaskan bahwa Maliki dan Syafi’i mengatakan:
orang yang melakukan umrah mufradah dihalalkan
melakukan apa saja, sampai bergaul dengan istrinya kalau dia telah bercukur
atau memendekkan rambutnya, baik telah membayar (memberikan) kurban atau belum.
Hambali
dan Hanafi: Orang yang melakukan umrah dihalalkan bercukur atau memendekkan
rambut kalau belum memberikan kurban. Kalau tidak, dia tetap berada dalam
keadaan ihram sampai ber-tahallul dari
haji dan umrah secara bersamaan pada hari nahr
(hari kurban).[3]
B.
DALIL DISYARIATKANNYA UMRAH
Dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 196 Allah SWT. menyebutkan,
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4 ...
Artinya:“ Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah...”(QS. Al-Baqarah:196)
Di dalam Hadits nabi menyebutkan dalam beberapa hadits mengenai umroh itu
sendiri. Diantara hadits-hadits terebut adalah
عُمْرَةٌ فِى
رَمَضَانَ تَعْدِلُ حِجَّةً (رواه ابن ماجه)
Artinya:“ Umroh pada bulan Ramadlan itu setara dengan Haji”
العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس
له جزاء إلا الجنة (رواه البخاري)
Artinya:“ Antara umroh 1 dan yang selanjutnya itu menjadi pelebur
dosa antara kedua umroh tersebut. Dan balasan untuk haji yang mabrur adalah
surga.”
C.
HUKUM DAN DASAR UMRAH
Kalangan ahli fiqh menyepakati legalitas umroh dari segi syara’ dan ia
wajib bagi orang yang disyariatkan untuk menyempurnakannya. Namun mereka
berbeda pendapat mengenai hukumnya dari segi wajib dan tidaknya ke dalam dua
arus pendapat berikut.
Pertama, sunnah mu’akkadah. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad menurut salah satu versi
pendapat, juga Abu Tsaur dan kalangan mazhab Zaidiyah. Pendapat mereka
didasarkan atas sabda Nabi SAW tatkala ditanya tentang umrah, apakah ia wajib
atau tidak? Beliau menjawab,” Tidak. Namun jika kalian umrah, maka itu lebih
baik,”
Alasan lain, umrah adalah nask (ibadah) yang pelaksanaannya tidak
ditentukan waktu, maka ia pun tidak wajib sebagaimana halnya thawaf mujarrad.
Kedua, wajib, terutama bagi orang-orang yang diwajibkan haji. Pendapat ini
dianut oleh Imam Asy-Syafi’i menurut versi yang paling sahih diantara kedua
pendapatnya, Imam Ahmad menurut versi lain, Ibnu Hazm, sebagian ulama mazhab
Maliki, kalangan mazhab Imamiyyah, Asy-Sya’bi, dan Ats-Tsauri. Pendapat ini
juga merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan lainnya, dan
mereka bersepakat bahwa pelaksanannya hanya sekali seumur hidup sebagaimana
halnya haji.[4]
Hukum umrah adalah wajib sebagaimana juga hukum haji, karena perintah untuk
melakukan umrah itu selalu dirangkaikan Allah dengan perintah melaksanakan
haji, umpamanya pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 196 dan 158.
D.
SYARAT UMRAH
Secara umum, syarat-syarat haji dan umrah adalah sama, yaitu:
1.
Islam
Orang non muslim tidak sah dalam melaksanakan
haji atau umrah. Jika dia berkunjung ke tanah suci bahkan mengikuti ibadah haji
atau umrah seperti thawaf dan sa'i maka perjalanan haji atau umrahnya hanya
sebatas melancong saja.
2.
Baligh
Anak kecil tiak diwajibkan berhaji atau pun umrah, baik yang sudah mumayyiz
maupun yang belum. Kalau sudah mumayyiz ia naik haji atau umrah maka sah, tetapi
pelaksanaan haji atau pun umrah yang sebelum mumayyiz itu merupakan sunnah dan
kewajiban melaksanakan haji atau pun umrah tidak gugur. Setelah baligh dan bisa
atau mampu, ia wajib melaksanakan haji atau pun umrah lagi, menurut kesepakatan
ulama mazhab.
3.
Berakal sehat
Orang gila sebenarnya tidak mempunyai beban atau bukan seorang mukallaf.
Kalau dia naik haji atau umrah dan dapat melaksanakan kewaiban yang dilakukan
oleh orang yang berakal, maka haji atau umrahnya itu tidak diberi pahala dari
kewajiban ittu, sekalipun pada waktu itu akal sehatnya sedang datang kepadanya.
Tapi kalau gilanya itu musiman dan bisa sadar (sembuh) sekitar pelaksanaan haji
atau umroh, sampai melaksanakan kewajiban dan syarat-syaratnya dengan sempurna,
maka dia wajib melaksanakannya. Tapi kalau diperkirakan waktu sadarnya itu
tidak cukup untuk melaksanakan semua kegiatan-kegiatan haji atau umrah, maka
kewajiban itu gugur.
4.
Merdeka
Maksud dari merdeka ini adalah tidak berstatus
sebagai budak (hamba sahaya dimasa Rasulullah Saw yang dimasa modern ini hampir
tidak ditemukan di dunia). Istilah merdeka juga bisa diartikan bebas dari
tanggungan hutang dan tanggungan nafkah keluarga yang ditinggalkan.
5.
Istitha'ah (mampu)
Secara sepakat para ulama mazhab menetapkan bisa atau mampu itu merupakan
syarat kewajiban haji atau pun umrah, berdasarkan firman Allah SWT dari surat
Ali ‘Imron ayat 97 yang berbunyi:
ÏmÏù 7M»t#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzy tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ
Artinya: “Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim, barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Q.S. Ali
‘Imron: 97)
E.
RUKUN DAN WAJIB UMRAH
Rukun umrah sama dengan haji kecuali
kehadiran di Arafah. Sedangkan wajib umrah juga sama dengan wajib haji kecuali
hadir di Muzdalifah, melempar dan bermalam di Mina. Semua larangan yang harus
dipenuhi selama haji juga harus dihindarkan selama melaksanakan umrah, hanya
masa pelaksanaan umrah itu lebih pendek daripada haji.
Umrah dapat dilaksanakan bersamaan
dengan pelaksanaan haji. Adapun pelaksanaan ihram untuk keduanya ada tiga
kemungkinan:
1.
Ihram untuk haji dilakukan terlebih dahulu dan selesai
haji dilakukan ihram untuk umrah. Cara seperti ini disebut ifrad.
2.
Ihram umrah dilakukan terlebih dahulu dari miqatnya, kemudian menyelesaikan umrah,
kemudian ihram untuk haji langsung dari Mekah, untuk selanjutnya melaksanakan
haji. Cara seperti ini disebut tamattu’. Bila
umrah dan haji dilaksanakan dalam bentuk ini, pelakunya dikenakan dam dalam bentuk memotong seekor kambing
di tempatnya, kalau tidak mampu, harus puasa tiga hari waktu melaksanakan haji
dan tujuh hari setelah tiba di tempat. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat
al-Baqarah ayat 196.
. . .
`yJsù yìGyJs? Íot÷Kãèø9$$Î/ n<Î) Ædkptø:$# $yJsù uy£øtGó$# z`ÏB Äôolù;$# 4 `yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sÎ) öNçF÷èy_u 3 . . .
Artinya:”Barangsiapa
ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam musim haji) wajib ia menyembelih
seekor korban yang mudah didapat. Bila ia yidak mendapatkannya hendaklah
berpuasa tiga hari sewaktu haji dan tujuh hari bila telah kembali. (QS.
Al-Baqarah:196)
3.
Umrah dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan haji
dengan satu ihram. Cara pelaksanaan seperti ini disebut qiran. Bagi yang melaksankan haji dan umrah secara qiran diwajibkan membayar korban
sebagaimana yang berlaku pada tamattu’.[5]
Adapun Rukun dalam ibadah umrah dibagi menjadi empat
bagian yang mana tidak sah suatu ibadah umrah jika tidak mengerjakan rukun-rukun
tersebut, rukun umrah antara lain :[6]
1.
Ihram
Bagi orang
yang hendak beribadah umrah, maka ia wajib melakukan ihram krena hal tersebut
bagian dari rukun umrah. Dalam ihram ada tiga hal yang wajib dilakukan yaitu:
a.
Niat
Tidak ada
perbuatan yang dilakukan dengan sadar tanpa adanya niat. Niat sebagai motivasi
dari perbuatan, dan niat merupakan hakikat dari perbuatan tersebut. Dengan kata
lain jika berihram dalam keadaan lupa atau main-main tanpa niat maka ihramnya
batal.
b.
Talbiyah
Lafadz
talbiyah adalah:“labbaikallahumma labbaika, la syarika laka labbaika, innal
hamda wan ni`mata laka wal mulka la syarika laka”. Waktu membaca talbiyah
bagi orang yang berihram, dimulai dari waktu ihram dan disunnahkan untuk
membaca terus sampai melempar jumrah `aqobah.
c.
Memakai pakaian ihram
Para ulama
madzhab sepakat bahwa lelaki yang ihram tidak boleh memakai pakaian yang terjahit,
dan tidak pula kain sarung, juga tidak boleh memakai baju dan celana, dan tidak
boleh pula yang menutupi kepala dan wajahnya. Kalau perempuan
harus memakai penutup kepalanya, dan membuka wajahnya kecuali kalau takut dilihat lelaki dengan
ragu-ragu. Perempuan tidak boleh memakai sarung tangan, tetapi boleh memakai sutera
dan sepatu.
2.
Tawaf
Tawaf
merupakan salah satu dari rukun umrah yang wajib dilaksanakan, adapun mengenai
pembagiannya, ulama membagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.
Tawaf qudum
Tawaf ini
dilakukan oleh orang-orang yang jauh (bukan orang mekkah dan sekitarnya) ketika
memasuki mekkah. Tawaf ini menyerupai sholat dua rakaat tahiyatul masjid. Tawaf
ini hukumnya sunnah, dan yang meninggalkannya tidak dikenakan apa-apa.
b.
Tawaf ziarah
Tawaf ini
juga dinamakan tawaf ifadhah. Tawaf ini dilakukan oleh orang yang haji (bukan
orang yang umrah) setelah melaksanakan manasik di Mina, dinamakan tawaf ziarah
karena meninggalkan Mina dan menziarahi Baitullah. Tapi juga dinamakan tawaf
ifadhah karena ia telah kembali dari Mina ke Mekkah.
c.
Tawaf wada`
Tawaf ini
merupakan perbuatan yang terakhir yang dilakukan oleh orang yang haji ketika
hendak melakukan perjalanan meninggalkan mekkah.
3.
Sa`i
Ulama
sepakat bahwa sa`i dilakukan setelah tawaf. Orang yang melakukan sa`i sebelum
tawaf maka ia harus mengulangi lagi (ia harus bertawaf kemudian melakukan
sa`i).
Terdapat
hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang sedang melakukan sa`i diantaranya :
a.
Disunnahkan menaiki bukit shafa dan marwah serta
berdo`a diatas kedua bukit tersebut sekehendak hatinya, baik masalah agama
maupun dalam masalah dunia sambil menghadap ke Baitullah.
b.
Melambaikan tangan ke hajar aswad.
c.
minum air zam-zam.
d.
menuangkan sebagian air ke tubuh.
e.
keluar dari pintu yang tidak berhadapan dengan hajar aswad.
f.
Naik ke bukit shafa, menghadap ruknul iraqi, berhenti
lama di shafa, dan bertakbir kepada Allah sebanyak tujuh kali.
Orang yang
menambah lebih tujuh kali dengan sengaja, maka sa`i-nya dianggap batal, tetapi
tidak batal kalau lupa. Apabila ragu-ragu dalam jumlah maka sa`inya tetap
dianggap sah, dan tidak diwajibkan sesuatu apa-apa baginya.
4.
Tahallul
Menurut
pendapat imamiyah kalau orang yang melakukan umrah tamattu` telah selesai bersa`i, ia harus menggunting rambutnya,
namun tidak boleh mencukurnya. Bila ia telah memotongnya, maka apa yang
diharamkan baginya telah menjadi halal. Tapi kalau telah mencukurnya, maka ia
harus membayar kifarah berupa seekor kambing. Tapi kalau berumrah mufrodah, maka ia boleh memilih antara
menggunting atau mencukur, baik ia mengeluarkan kurban atau tidak.
Tetapi kalau
meninggalkan menggunting rambut itu dengan sengaja sedangkan ia bertujuan untuk
melakukan haji tamattu` dan berihram
sebelum menggunting rambut, maka umrahnya batal. Ia wajib melakukan haji ifrad. Maksudnya melakukan amalan-amalan haji, kemudian
melakukan umrah mufradah setelah
amalan-amalan haji itu. Dan lebih utama adalah mengulangi haji lagi pada tahun
yang akan datang.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Umrah adalah berpergian menuju ke Baitullah untuk melaksanakan
serangkaian ibadah umrah, yakni tawaf dan sa’i. Atau dengan kata
lain datang ke Baitullah untuk melaksanakan umrah dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan.
Dalil tentang disyariatkannya umrah adalah:
#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4 ...
Artinya:“ Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.”(QS. Al-Baqarah:196)
Hukum mengenai disyariatkannya umrah
ada dua pendapat, yaitu ada sebagian ulama yang menghukuminya dengan sunnah
mu’akkad dan sebagian ulama yang lain mewajibkannya.
Syarat-syarat umrah diantaranya
adalah Islam, baligh, berakal sehat, merdeka dan istitha'ah (mampu).
Rukun-rukun umrah diantaranya adalah ihram, tawaf, sa`i dan tahallul.
B.
SARAN
Sebaiknya
umat Islam yang sudah mampu atau sudah memenuhi syarat-syarat umrah, segera
melaksanakan ibadah haji ataupun umrah dengan sesuai ketentuan-ketentuan yang
telah ditentukan, karena hukumnya adalah wajib.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Prof. Dr. Amir. 2010. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana.
Luth, Thohir. 2004. Syariat Islam Tentang Haji
dan Umroh. Jakarta: Rineka Cipta.
Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed
Hawwas. 2010. Fiqh Ibadah. Jakarta: Amzah.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2011. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.
[1] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,(Jakarta: Lentera,
2011), hlm. 217.
[2] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh,(Jakarta:
Kencana, 2010), hlm. 70.
[3] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,(Jakarta: Lentera,
2011), hlm. 218.
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam &
Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah. (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 604.
[5]
Prof. Dr. Amir Syarifuddin,
Garis-garis Besar Fiqh,(Jakarta:
Kencana, 2010), hlm. 71.
[6] Thohir Luth, Syariat Islam
Tentang Haji dan Umroh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 17.
1 komentar:
terima kasih makalah sangat membantu saya
Posting Komentar