Minggu, 26 April 2015

MAKALAH FIQIH IBADAH - UMRAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG

Pada dasarnya orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji dan umrah.  Ibadah ini mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan di sana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul.
Sebenarnya antara umrah dan haji itu hampir sama, namun ada sedikit hal yang membedakan antara keduanya. Mengapa demikian? oleh karena itu kami akan menjelaskan bagaimana pengertian dari umrah, syarat-syarat, dan rukun-rukun yang berkenaan dengan pelaksanaan ibadah umrah.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengertian umrah?
2.    Bagaimana dalil-dalil tentang disyariatkannya umrah?
3.    Bagaimana hukum melaksanakan umrah?
4.    Apa saja syarat-syarat melaksanakan umrah?
5.    Apa saja rukun dalam melaksanakan umrah?

C.      TUJUAN
1.    Untuk mengetahui pengertian dari umrah.
2.    Untuk mengetahui dalil tentang disyariatkannya umrah.
3.    Untuk mengetahui bagaimana hukum melaksanakan umrah.
4.    Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat melaksanakan umrah.
5.    Untuk mengetahui apa saja rukun yang harus dilakukan ketika umrah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN UMRAH

Umrah secara etimologis adalah ziarah dalam pengertian yang bersifat umum. Sedangkan secara terminologis adalah berziarah ke Baitullah dalam pengertian khusus.[1]
Umrah adalah mengunjungi ka’bah dengan serangkaian ibadah khusus di sekitarnya. Pelaksanaan umrah tidak terikat dengan miqat zamani dengan arti ia dilakukan kapan saja, termasuk pada musim haji. Perbedaannya dengan haji ialah bahwa padanya tidak ada wuquf di Arafah, berhenti di Muzdalifah, melempar jumrah dan menginap di Mina. Dengan begitu ia merupakan haji dalam bentuknya yang lebih sederhana, sehingga sering umrah itu disebut dengan haji kecil.[2]
Umrah dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.         Umrah yang terpisah dari haji (mufradah). Waktunya sepanjang tahun, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Namun waktu yang paling utama menurut Imamiyah adalah bulan Rajab. Sedangkan menurutt yang lain adalah bulan Ramadhan.
2.         Umrah yang terpadu atau bersama haji (tamattu’). Orang yang beribadah  (haji) harus melakukan umrah terlebih dahulu, kemudian melakukan amalan-amalan haji pada satu kali perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh para jamaah haji yang datang dari berbagai negara yang jauh dari Mekah al-Mukarramah. Waktunya adalah pada bulan-bulan haji, yaitu Syawal, Zhulqa’dah dan Dzulhijjah, menurut kesepakatan mazhab. Namun mereka berbeda pendapat tentang bulan Dzulhijjah, apakah satu bulan penuh termasuk haji, atau sepertiga pertama? Menurut orang yang mengatakan bahwa umrah itu wajib, gugurlah kewajiban itu bila telah melakukan umrah yang bersama atau terpadu denagn haji.
Sayyid Al-Khui membedakan antara umrah mufradah (berpisah dari haji) dengan umrah tamattu’ (bersama haji) dengan beberapa hal di bawah ini:

1.         Waktu umrah tamattu’ dimulai dari awal bulan Syawal sampai pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah. Sedangkan waktu umrah mufradah adalah sepanjang tahun.
2.         Orang yang melakukan umrah tamattu’ hanya diperbolehkan memendekkan raambutnya saja. Sedengkan orang yang melakukan umrah mufradah boleh memilih antara memendekkan atau mencukur rambutnya.
3.         Umrah tamattu’ dan haji terjadi dalam satu tahun, tetapi kalau umrah mufradah tidak.

Dalam buku Al-Din wa Al-Haj ‘ala al-Madzahib Al-Arba’ah karya Al-kararah dijelaskan bahwa Maliki dan Syafi’i mengatakan: orang yang melakukan umrah mufradah dihalalkan melakukan apa saja, sampai bergaul dengan istrinya kalau dia telah bercukur atau memendekkan rambutnya, baik telah membayar (memberikan) kurban atau belum.
Hambali dan Hanafi: Orang yang melakukan umrah dihalalkan bercukur atau memendekkan rambut kalau belum memberikan kurban. Kalau tidak, dia tetap berada dalam keadaan ihram sampai ber-tahallul dari haji dan umrah secara bersamaan pada hari nahr (hari kurban).[3]

B.       DALIL DISYARIATKANNYA UMRAH

Dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 196 Allah SWT. menyebutkan,
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4 ...
Artinya:Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah...”(QS. Al-Baqarah:196)
Di dalam Hadits nabi menyebutkan dalam beberapa hadits mengenai umroh itu sendiri. Diantara hadits-hadits terebut adalah
عُمْرَةٌ فِى رَمَضَانَ تَعْدِلُ حِجَّةً (رواه ابن ماجه)
Artinya:“ Umroh pada bulan Ramadlan itu setara dengan Haji”

العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة (رواه البخاري)
Artinya:“ Antara umroh 1 dan yang selanjutnya itu menjadi pelebur dosa antara kedua umroh tersebut. Dan balasan untuk haji yang mabrur adalah surga.”

C.      HUKUM DAN DASAR UMRAH

Kalangan ahli fiqh menyepakati legalitas umroh dari segi syara’ dan ia wajib bagi orang yang disyariatkan untuk menyempurnakannya. Namun mereka berbeda pendapat mengenai hukumnya dari segi wajib dan tidaknya ke dalam dua arus pendapat berikut.
Pertama, sunnah mu’akkadah. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad menurut salah satu versi pendapat, juga Abu Tsaur dan kalangan mazhab Zaidiyah. Pendapat mereka didasarkan atas sabda Nabi SAW tatkala ditanya tentang umrah, apakah ia wajib atau tidak? Beliau menjawab,” Tidak. Namun jika kalian umrah, maka itu lebih baik,”                               
Alasan lain, umrah adalah nask (ibadah) yang pelaksanaannya tidak ditentukan waktu, maka ia pun tidak wajib sebagaimana halnya thawaf mujarrad.
Kedua, wajib, terutama bagi orang-orang yang diwajibkan haji. Pendapat ini dianut oleh Imam Asy-Syafi’i menurut versi yang paling sahih diantara kedua pendapatnya, Imam Ahmad menurut versi lain, Ibnu Hazm, sebagian ulama mazhab Maliki, kalangan mazhab Imamiyyah, Asy-Sya’bi, dan Ats-Tsauri. Pendapat ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan lainnya, dan mereka bersepakat bahwa pelaksanannya hanya sekali seumur hidup sebagaimana halnya haji.[4]
Hukum umrah adalah wajib sebagaimana juga hukum haji, karena perintah untuk melakukan umrah itu selalu dirangkaikan Allah dengan perintah melaksanakan haji, umpamanya pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 196 dan 158.

D.      SYARAT UMRAH

Secara umum, syarat-syarat haji dan umrah adalah sama, yaitu:
1.         Islam
Orang non muslim tidak sah dalam melaksanakan haji atau umrah. Jika dia berkunjung ke tanah suci bahkan mengikuti ibadah haji atau umrah seperti thawaf dan sa'i maka perjalanan haji atau umrahnya hanya sebatas melancong saja.
2.         Baligh
Anak kecil tiak diwajibkan berhaji atau pun umrah, baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum. Kalau sudah mumayyiz ia naik haji atau umrah maka sah, tetapi pelaksanaan haji atau pun umrah yang sebelum mumayyiz itu merupakan sunnah dan kewajiban melaksanakan haji atau pun umrah tidak gugur. Setelah baligh dan bisa atau mampu, ia wajib melaksanakan haji atau pun umrah lagi, menurut kesepakatan ulama mazhab.
3.         Berakal sehat
Orang gila sebenarnya tidak mempunyai beban atau bukan seorang mukallaf. Kalau dia naik haji atau umrah dan dapat melaksanakan kewaiban yang dilakukan oleh orang yang berakal, maka haji atau umrahnya itu tidak diberi pahala dari kewajiban ittu, sekalipun pada waktu itu akal sehatnya sedang datang kepadanya. Tapi kalau gilanya itu musiman dan bisa sadar (sembuh) sekitar pelaksanaan haji atau umroh, sampai melaksanakan kewajiban dan syarat-syaratnya dengan sempurna, maka dia wajib melaksanakannya. Tapi kalau diperkirakan waktu sadarnya itu tidak cukup untuk melaksanakan semua kegiatan-kegiatan haji atau umrah, maka kewajiban itu gugur.
4.         Merdeka
Maksud dari merdeka ini adalah tidak berstatus sebagai budak (hamba sahaya dimasa Rasulullah Saw yang dimasa modern ini hampir tidak ditemukan di dunia). Istilah merdeka juga bisa diartikan bebas dari tanggungan hutang dan tanggungan nafkah keluarga yang ditinggalkan.
5.         Istitha'ah (mampu)
Secara sepakat para ulama mazhab menetapkan bisa atau mampu itu merupakan syarat kewajiban haji atau pun umrah, berdasarkan firman Allah SWT dari surat Ali ‘Imron ayat 97 yang berbunyi:
ÏmŠÏù 7M»tƒ#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOŠÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzyŠ tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ    
Artinya: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim, barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Q.S. Ali ‘Imron: 97)

E.       RUKUN DAN WAJIB UMRAH

Rukun umrah sama dengan haji kecuali kehadiran di Arafah. Sedangkan wajib umrah juga sama dengan wajib haji kecuali hadir di Muzdalifah, melempar dan bermalam di Mina. Semua larangan yang harus dipenuhi selama haji juga harus dihindarkan selama melaksanakan umrah, hanya masa pelaksanaan umrah itu lebih pendek daripada haji.
Umrah dapat dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan haji. Adapun pelaksanaan ihram untuk keduanya ada tiga kemungkinan:
1.        Ihram untuk haji dilakukan terlebih dahulu dan selesai haji dilakukan ihram untuk umrah. Cara seperti ini disebut ifrad.
2.        Ihram umrah dilakukan terlebih dahulu dari miqatnya, kemudian menyelesaikan umrah, kemudian ihram untuk haji langsung dari Mekah, untuk selanjutnya melaksanakan haji. Cara seperti ini disebut tamattu’. Bila umrah dan haji dilaksanakan dalam bentuk ini, pelakunya dikenakan dam dalam bentuk memotong seekor kambing di tempatnya, kalau tidak mampu, harus puasa tiga hari waktu melaksanakan haji dan tujuh hari setelah tiba di tempat. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat al-Baqarah ayat 196.
. . . `yJsù yì­GyJs? Íot÷Kãèø9$$Î/ n<Î) Ædkptø:$# $yJsù uŽy£øŠtGó$# z`ÏB Äôolù;$# 4 `yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sŒÎ) öNçF÷èy_u 3 . . .
Artinya:”Barangsiapa ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam musim haji) wajib ia menyembelih seekor korban yang mudah didapat. Bila ia yidak mendapatkannya hendaklah berpuasa tiga hari sewaktu haji dan tujuh hari bila telah kembali. (QS. Al-Baqarah:196)
3.        Umrah dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan haji dengan satu ihram. Cara pelaksanaan seperti ini disebut qiran. Bagi yang melaksankan haji dan umrah secara qiran diwajibkan membayar korban sebagaimana yang berlaku pada tamattu’.[5]

Adapun Rukun dalam ibadah umrah dibagi menjadi empat bagian yang mana tidak sah suatu ibadah umrah jika tidak mengerjakan rukun-rukun tersebut, rukun umrah antara lain :[6]



1.         Ihram
Bagi orang yang hendak beribadah umrah, maka ia wajib melakukan ihram krena hal tersebut bagian dari rukun umrah. Dalam ihram ada tiga hal yang wajib dilakukan yaitu:
a.    Niat
Tidak ada perbuatan yang dilakukan dengan sadar tanpa adanya niat. Niat sebagai motivasi dari perbuatan, dan niat merupakan hakikat dari perbuatan tersebut. Dengan kata lain jika berihram dalam keadaan lupa atau main-main tanpa niat maka ihramnya batal.
b.    Talbiyah
Lafadz talbiyah adalah:“labbaikallahumma labbaika, la syarika laka labbaika, innal hamda wan ni`mata laka wal mulka la syarika laka”. Waktu membaca talbiyah bagi orang yang berihram, dimulai dari waktu ihram dan disunnahkan untuk membaca terus sampai melempar jumrah `aqobah.
c.    Memakai pakaian ihram
Para ulama madzhab sepakat bahwa lelaki yang ihram tidak boleh memakai pakaian yang terjahit, dan tidak pula kain sarung, juga tidak boleh memakai baju dan celana, dan tidak boleh pula yang menutupi kepala dan wajahnya. Kalau perempuan harus memakai penutup kepalanya, dan membuka wajahnya  kecuali kalau takut dilihat lelaki dengan ragu-ragu. Perempuan tidak boleh memakai sarung tangan, tetapi boleh memakai sutera dan sepatu.

2.         Tawaf
Tawaf merupakan salah satu dari rukun umrah yang wajib dilaksanakan, adapun mengenai pembagiannya, ulama membagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.    Tawaf qudum
Tawaf ini dilakukan oleh orang-orang yang jauh (bukan orang mekkah dan sekitarnya) ketika memasuki mekkah. Tawaf ini menyerupai sholat dua rakaat tahiyatul masjid. Tawaf ini hukumnya sunnah, dan yang meninggalkannya tidak dikenakan apa-apa.
b.    Tawaf ziarah
Tawaf ini juga dinamakan tawaf ifadhah. Tawaf ini dilakukan oleh orang yang haji (bukan orang yang umrah) setelah melaksanakan manasik di Mina, dinamakan tawaf ziarah karena meninggalkan Mina dan menziarahi Baitullah. Tapi juga dinamakan tawaf ifadhah karena ia telah kembali dari Mina ke Mekkah.
c.    Tawaf wada`
Tawaf ini merupakan perbuatan yang terakhir yang dilakukan oleh orang yang haji ketika hendak melakukan perjalanan meninggalkan mekkah.

3.         Sa`i
Ulama sepakat bahwa sa`i dilakukan setelah tawaf. Orang yang melakukan sa`i sebelum tawaf maka ia harus mengulangi lagi (ia harus bertawaf kemudian melakukan sa`i).
Terdapat hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang sedang melakukan sa`i diantaranya :
                          a.       Disunnahkan menaiki bukit shafa dan marwah serta berdo`a diatas kedua bukit tersebut sekehendak hatinya, baik masalah agama maupun dalam masalah dunia sambil menghadap ke Baitullah.
                          b.       Melambaikan tangan ke hajar aswad.
                          c.        minum air zam-zam.
                          d.       menuangkan sebagian air ke tubuh.
                          e.       keluar dari pintu yang tidak berhadapan dengan hajar aswad.
                          f.       Naik ke bukit shafa, menghadap ruknul iraqi, berhenti lama di shafa, dan bertakbir kepada Allah sebanyak tujuh kali.
Orang yang menambah lebih tujuh kali dengan sengaja, maka sa`i-nya dianggap batal, tetapi tidak batal kalau lupa. Apabila ragu-ragu dalam jumlah maka sa`inya tetap dianggap sah, dan tidak diwajibkan sesuatu apa-apa baginya.


4.          Tahallul
Menurut pendapat imamiyah kalau orang yang melakukan umrah tamattu` telah selesai bersa`i, ia harus menggunting rambutnya, namun tidak boleh mencukurnya. Bila ia telah memotongnya, maka apa yang diharamkan baginya telah menjadi halal. Tapi kalau telah mencukurnya, maka ia harus membayar kifarah berupa seekor kambing. Tapi kalau berumrah mufrodah, maka ia boleh memilih antara menggunting atau mencukur, baik ia mengeluarkan kurban atau tidak.
Tetapi kalau meninggalkan menggunting rambut itu dengan sengaja sedangkan ia bertujuan untuk melakukan haji tamattu` dan berihram sebelum menggunting rambut, maka umrahnya batal. Ia wajib melakukan haji ifrad. Maksudnya  melakukan amalan-amalan haji, kemudian melakukan umrah mufradah setelah amalan-amalan haji itu. Dan lebih utama adalah mengulangi haji lagi pada tahun yang akan datang.




BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN

Umrah adalah berpergian menuju ke Baitullah untuk melaksanakan serangkaian ibadah umrah, yakni tawaf dan sa’i. Atau dengan kata lain datang ke Baitullah untuk melaksanakan umrah dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Dalil tentang disyariatkannya umrah adalah:
#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4 ...
Artinya:“ Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.”(QS. Al-Baqarah:196)
Hukum mengenai disyariatkannya umrah ada dua pendapat, yaitu ada sebagian ulama yang menghukuminya dengan sunnah mu’akkad dan sebagian ulama yang lain mewajibkannya.
Syarat-syarat umrah diantaranya adalah Islam, baligh, berakal sehat, merdeka dan istitha'ah (mampu).
Rukun-rukun umrah diantaranya adalah ihram, tawaf, sa`i dan tahallul.

B.       SARAN

Sebaiknya umat Islam yang sudah mampu atau sudah memenuhi syarat-syarat umrah, segera melaksanakan ibadah haji ataupun umrah dengan sesuai ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan, karena hukumnya adalah wajib.






DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Prof. Dr. Amir. 2010. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana.

Luth, Thohir. 2004. Syariat Islam Tentang Haji dan Umroh. Jakarta: Rineka Cipta.

Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2010. Fiqh Ibadah. Jakarta: Amzah.

Mughniyah, Muhammad Jawad. 2011. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.



[1] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,(Jakarta: Lentera, 2011), hlm. 217.
[2] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh,(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 70.
[3] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,(Jakarta: Lentera, 2011), hlm. 218.
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah. (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 604.
[5] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh,(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 71.
[6] Thohir Luth, Syariat Islam Tentang Haji dan Umroh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 17.

1 komentar:

rahayu astuti mengatakan...

terima kasih makalah sangat membantu saya

Posting Komentar