Selasa, 29 Desember 2015

MAKALAH TRANSAKSI ISTISHNA

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Fenomena jual beli dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang menjadi kebiasaan masyarakat. Terutama masyarakat Indonesia yang banyak berprofesi sebagai pedagang. Jual beli diatur juga dalam syariah islam. Akan tetapi pengetahuan  masyarakat tentang jual beli berdasarkan syariah Islam masih kurang, oleh karena itu banyak masyarakat yang melakukan jual beli menyimpang dari syariat Islam.
Jual beli terdiri dari dua macam, yaitu jual beli tunai dan jual beli secara tangguh. Jual beli secara tangguh pun terbagi lagi menjadi tiga, yaitu jual beli murabahah, salam dan istishna’. Jual beli salam dan istishna’ sebenarnya jual beli yang serupa, hanya saja perbedaannya terletak dari keberadaan barang yang dijadikan sebagai objek akad dan cara pembayaran yang sedikit berbeda. Jual beli salam terjadi pada komoditas pertanian, perkebunan dan perternakan, sedangkan jual beli istishna’ terjadi pada komoditas hasil industri yang spesifikasinya dapat ditentukan oleh konsumen. Jual beli istishna’ merupakan teknik jual beli yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti menjahit di tukang jahit dan lain sebagainya. Mungkin itu adalah jual beli istishna’ yang sederhana tapi hal teresebut adalah contoh kecil dari jual beli istishna’.
Akad istishna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan keuntungan kepada produsen juga memberikan keuntungan kepada konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istishna lebih mungkin banyak digunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan karena barang yang dipesan oleh nasabahatau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang yang sudah jadi.  Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang mengimplementasikan istishna’ bisa menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.
Berkenaan dengan latar belakang diatas, maka penulis bermaksud menjelaskan tentang istishna dalam makalah ini.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.         Apa yang dimaksud dengan Istishna?
2.         Bagaimana skema/alur transaksi Istishna?
3.         Apa saja rukun dan syarat transaksi Istishna?
4.         Bagaimana pengawasan syariah transaksi istishna?
5.         Bagaimana implementasi istishna di lembaga keuangan syariah?
6.         Bagaimana pengakuan, pengukuran dan penyajian  istishna?

C.      TUJUAN
1.         Mengetahui apa itu Istishna.
2.         Mengetahui skema/alur transaksi Istishna.
3.         Mengetahui rukun dan syarat transaksi Istishna.
4.         Mengetahui pengawasan syariah transaksi istishna.
5.         Mengetahui implementasi istishna di lembaga keuangan syariah
6.         Mengetahui pengakuan, pengukuran dan penyajian istishna.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN ISTISHNA

Istishna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan. Istishna adalah akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen untuk membuatkan barang pesanan sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli barang tersebut dari bank dengan harga yang telah disepakati bersama.[1]
Dalam fatwa DSN MUI akad istishna adalah akad jual beli dalm bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antar pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).[2]
Istishna paralel adalah suatu bentuk akad istishna' antara pemesan (pembeli, mustashni') dengan penjual (pembuat, shani'), kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni', penjual memerlukan pihak lain sebagai shani'.

B.       RUKUN DAN SYARAT ISTISHNA

1.         Rukun Istishna, meliputi:
a.    Transaktor
Terdiri atas pembeli dan penjual. Terkait dengan penjual, DSN mengharuskan agar penjual menyerahhkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Penjual diperbolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
Dalam hal pesanan sudah sesuai dengan kesepakatan, hukumnya wajib bagi pembeli untuk menerima barang istishna dan melaksanakan semua ketentuan dalam kesepakatan istishna. Akan tetapi, sekiranya pada barang yang dilunasi terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau  membatalkan akad.

b.    Objek Istishna
Rukun objek akad transaksi jual beli istishna meliputi barang yang diperjualbelikan dan harga barang tersebut.

c.    Ijab dan Kabul (sighat)
Merupakan pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, dengan cara penawaran dari penjual (bank syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh pembeli (nasabah).[3]

2.         Syarat Istishna, yaitu:
a.    Pihak yang berakal, cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.  
b.    Ridha atau kerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji. 
c.    Menyatakan kesanggupan untuk mengadakan atau membuat barang itu.
d.   Mashnu’ (barang/obyek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu, dan jumlahnya. 
e.    Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara’ (najis, haram, tidak jelas) atau menimbulkan kemudharatan (menimbulkan maksiat).

 Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Jual Beli Istishna sebagaimana tercantum dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 06/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 4 April 2000, sebagai berikut :

1.         Ketentuan tentang Pembayaran
a.    Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. 
b.    Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
c.    Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

2.         Ketentuan tentang Barang
a.    Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
b.    Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. 
c.    Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. 
d.   Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. 
e.    Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. 
f.     Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

3.         Ketentuan lain 
a.    Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat. 
b.    Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan  diantara kedua belah pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 

4.         Berakhirnya Akad Istishna
Kontrak Istishna bisa berakhir berdasarkan kondisi kondisi berikut:
a.    Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
b.    Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak.
c.    Pembatalan hukum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing masing pihak bisa menuntut pembatalannya.

C.      SKEMA/ALUR TRANSAKSI ISTISHNA

1.         Skema Transaksi Istishna
 






Keterangan:
(1)  Pembeli dan penjual menyepakati akad Istishna.
(2)  Barang diserahkan kepada Pembeli.
(3)  Pembayaran dilakukan oleh Pembeli.

2.         Skema Transaksi Istishna Paralel
 










Keterangan:
(1)  Melakukan akad Istishna.
(2)  Penjual memesan & membeli dari Suplier/produsen.
(3)  Barang dari produsen diserahkan kepada penjual.
(4)  Barang diserahkan kepada pembeli.
(5)  Pembayaran oleh pembeli.

Dalam kontrak Istishna, pembuat barang menerima pesanan pembeli. Pembayaran atas transaksi jual beli dengan akad Istishna dapat dilaksanakan di muka, dengan cara angsuran, dan atau ditangguhkan sampai jangka waktu pada masa yang akan datang. Adapun mekanisme pembayaran akad Istishna dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1.         Pembayaran di muka, yaitu pembayaran dilakukan secara keseluruhan pada saat akad sebelum aset Istishna diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli akhir (nasabah).
2.         Pembayaran dilakukan pada saat penyerahan barang, yaitu pembayaran dilakukan pada saat barang diterima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran ini dimungkinkan adanya pembayaran termin sesuai dengan progres pembuatan aset Istishna. Cara pembayaran ini yang umum dilakukan dalam pembiayaan Istishna bank syariah.
3.         Pembayaran ditangguhkan, yaitu pembayaran dilakukan setelah aset Istishna diserahkan oleh bank kepada pembeli akhir.[4]

D.      PENGAWASAN SYARIAH TRANSAKSI ISTISHNA DAN ISTISHNA PARALEL

Untuk memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik jual beli istishna dan istishna paralel, DPS biasanya melakukan pengawasan syariah secara periodik. Berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan Bank Indonesia, pengawasan tersebut dilakukan untuk:
a.         Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
b.         Meneliti apakah bank membiayai pembuatan barang yang diperlukan nasabah sesuai pesanan dan kriteria yang disepakati.
c.         Memastikan akad istishna dan akad istishna paralel dibuat dalam akad yang tepisah.
d.        Memastikan bahwa akad istishna’ yang sudah dikerjakan sesuai kesepakatan hukumnya mengikat, artinya tidak dapat dibatalkan kecuali memenuhi kondisi tertentu.

Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank syariah untuk hati-hati dalam melakukan transaksi jual beli istishna’ paralel dengan para nasabah. Di samping itu, bank juga dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.[5]

E.       IMPLEMENTASI ISTISHNA DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Istishna di lembaga keuangan syariah diartikan dengan akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.
Secara praktis pelaksanaan kegiatan istishna dalam perbankan syari’ah cenderung dilakukan dalam format istishna paralel. Hal ini dapat dipahami karena pertama, kegiatan istishna oleh bank syariah merupakan akibat dari adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua, bank syariah bukanlah produsen dari barang yang dimaksud.
Pada istishna’ pararel terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu bank, nasabah, dan pemasok. Pembiayaan dilakukan karena nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atas tagihan pemasok selama masa periode pembangunan, sehingga memerlukan jasa pembiayaan dari bank. Atas pembiayaan terhadap pembangunan barang, maka bank mendapatkan margin dari jual beli barang yang terjadi. Margin diperoleh dari selisih harga beli bank kepada pemasok dengan harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan juga, bank mendapatkan pendapatan selain margin berupa pendapatan administrasi.

F.       PENGAKUAN, PENGUKURAN, DAN PENYAJIAN ISTISHNA

1.         Bank sebagai produsen/penjual
a.    Pengakuan dan Pengukuran biaya istishna adalah sebagai berikut:
1)   Biaya istishna terdiri dari:
a)   Biaya langsung, terutama barang untuk menghasilkan pesanan.
b)   Biaya tidak langsung, yang berhubungan dengan akad (termasuk biaya pra-akad) yang dialokasikan secara objektif.
2)   Beban umum dan administrasi, beban penjualan, serta biaya riset dan pengembangan tidak termasuk dalam biaya istishna.
3)   Biaya pra-akad diakui sebagai biaya ditangguhkan dan diperhitungkan sebagai biaya istishna bila akad ditandatangani, tetapi jika akad tidak ditandatangani maka beban tersebut dibebankan pada periode berjalan.
4)   Biaya istishna yang terjadi selama periode laporan keuangan, diakui sebagai aktiva istishna dalam penyelesaian pada saat terjadinya.

b.    Pengakuan dan Pengukuran biaya istishna paralel adalah sebagai berikut:
1)   Biaya istishna paralel terdiri dari:
a)   Biaya perolehan barang pesanan sebesar tagihan subkontraktor kepada bank.
b)   Biaya tidak langsung yang berhubungan dengan akad (termasuk biaya pra akad) yang dilakukan secara objektif.
c)   Semua biaya akibat subkontraktor tidak dapat memenuhi kewajibannya, jika ada.
2)   Biaya istishna parallel diakui sebagai aktiva istisna dalam penyelesaian  pada saat diterimanya tagihan dari subkontraktor sebesar jumlah tagihan.
3)   Tagihan setiap termin dari bank kepada pembeli akhir diakui sebagai piutang istishna dan sebagai terima istishna (istishna billig) pada pos pelayanan.

2.         Bank sebagai pembeli:
a.    Bank mengakui aktiva istishna dalam penyelesaian sebesar jumlah termin yang ditagih oleh penjual dan sekaligus mengakui hutang istishna kepada penjual.
b.    Apabila barang pesanan terlambat diserahkan karena kelalain atau kesalahan penjual dan mengakibatkan kerugian bank, maka kerugian itu dikurangkan dari garansi penyelesaian proyek yang telah diserahkan penjual. Apabila kerugian melebihi garansi penyelesaian proyek, maka selisihnya akan diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada subkontraktor.
c.    Jika bank menolak barang pesanan karena tidak sesuai spesifikasi dantidak dapat memperoleh kembali seluruh jumlah uang yang telah dibayarkan kepada subkontraktor, maka jumlah yang belum diperoleh kembali diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada subkontraktor.
d.   Jika bank menerima barang pesanan yang tidak sesuai dengan spesifikasi, maka barang pesanan tersebut diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan biaya perolehan. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.
e.    Dalam istishna paralel, jika pembeli akhir menolak barang pesanan karena tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, maka barang pesanan diukur dengan nilai yang lebih rendah antara nilai wajar dan harga pokok istishna. Selisih yang terjadi diakui sebagai kerugian pada periode berjalan.



BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan:
1.      Istishna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan.
2.      Rukun istishna meliputi: transakstor, objek istishna serta ijab dan qobul.
3.      Alur transaksi istishna yaitu: Pembeli dan penjual menyepakati akad Istishna, Barang diserahkan kepada Pembeli, Pembayaran dilakukan oleh Pembeli.
4.      Untuk memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik jual beli istishna dan istishna paralel, DPS biasanya melakukan pengawasan syariah secara periodik.
5.      Istishna di lembaga keuangan syariah diartikan dengan akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.

B.       SARAN
Dalam makalah ini penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga bisa menambah wawasan pembaca. Di sini penulis juga minta maaf kepada pembaca jika ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini atau ada persepsi yang berbeda dari pembaca, kami harap untuk dapat dimaklumi.








DAFTAR PUSTAKA


Danupranata, Gita. 2013. Manjaemen Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat.

Ismail. 2011. Perbankan Syariah. Jakarta : Prenada Media Group.

Karim, Adiwarman A. 2010. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Yaya, Rizal., Erlangga, Aji., Abdurahim, Ahim. 2014. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.

nadiranasyiffa.blogspot.com/2011/12/akad-istishna.html
lidonarta.blogspot.com/2012/07/makalah-akutansi-istishna.html





[1] Gita Danupranata, Manjaemen Perbankan Syariah, (Jakarta : Salemba Empat, 2013), hlm. 112.
[2] Adiwarman A Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 126.
[3] Rizal Yaya, Aji Erlangga, Ahim Abdurahim, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer Edisi 2, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), hlm. 224-225.
[4] Ismail , Perbankan Syariah, (Jakarta : Prenada Media Group, 2011), hlm. 147.
[5] Rizal Yaya, Aji Erlangga, Ahim Abdurahim, Op cit, hlm. 226.